Kamis, 04 Juni 2009

MOGOK KERJA DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG HARMONIS

Sejak diundangkannya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sejakk 25 Maret 2003 sudah berjalan kurang lebih hampir 6 (enam) tahun. Undang-undang ini merupakan produk reformasi khususnya di bidang ketenagkerjaan. Salah satu hal yang sangat penting yang telah mempunyai landasan yang kuat adalah masalah mogok kerja. Meskipun dalam waktu hampir enam tahun, masalah mogok kerja masih tetap relevan dibicarakan dengan adanya pertanyaan apakah pengaturan mogok kerja dimaksud sudah sesuai dengan hubungan industrial yang kita cita-citakan ? dan apakah sudah mendukung tehadap penanaman modal ?. pertanyaan ini hendaknya kita jawab dengan terlebih dahulu membicarakan masalah hubungan industrial yang kita cita-citakan.

Tujuan hubungan indutrial kita tidak terlepas dari Pembangunan nasional Indonesia yang bertujuan untuk membangun masyarakat Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya adalah pembangunan masyarakat Indonesia baik materiil maupun spirituil. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, ataupun kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya. Selanjutnya pembangunan masyarakat Indoensia seluruhnya adalah pembangunan yang dilaksanakan secara adil dan merata di seluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa, dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.

Salah satu prioritas pembangunan nasional adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan ekonomi kerakyatan. Sejalan dengan hal tersebut, dalam memori penjelasan disebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spirituil.

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian dari pembangunan nasional bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran nasional. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut hasus dilaksanakan berdasarkan asas dan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya dalam memori penjelasan Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK), menyatakan bahwa, asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.

Dalam pelaksanaannya pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan kepada dua asas yang sangat penting yaitu, asas demokrasi dan asas kekeluargaan. Sebagai manifestasi dari kedua asas tersebut, maka pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam bentuk kerjasama yang saling mendukung antara pelaku pembangunan ketenagakerjaan itu.

Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi. Pembangunan itu dilaksanakan tidak hanya pada saat adanya hubungan kerja (during employment) tetapi harus dilaksanakan juga sebelum adanya hubungan kerja (pre employment) serta ketika hubungan kerja telah selesai (after employment). Pembangunan ketenagakerjaan dilakukan sebelum ada hubungan kerja meliputi pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan tenaga kerja sehingga mereka mampu bersaing dalam pasar kerja dan dapat memenuhi permintaan pasar kerja. Selanjutnya, selama tenaga kerja bekerja pada pemberi kerja (employment), maka pembangunan ketenagakerjaan dilakukan dalam bentuk pembinaan dan perlindungan hak-hak pkerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, sedangkan ketika hubungan kerja telah selesai (after employment), pembangunan ketenagakerjaan diarahkan pada pelaksaan hak-hak mereka pasca hubungan kerja. misalnya uang pensiun atau jaminan hari tua (Reytman Aruan, 2007: 12).

Lebih lanjut dalam memori penjelasan UUK dinyatakan bahwa pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nila kemanusiaannya. Selanjutnya disebutkan bahwa pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah. Dalam melaksanakan pembangunan nasional peranserta pekerja/buruh makin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan pekerja/buruh harus semakin ditingkatkan baik mengenai upah, kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia (to make man more human).

KEMITRAAN

Sesuai dengan prinsip yang dianut dalam hubungan industrial Pancasila bahwa hubungan industrial bertujuan untuk a) menciptakan ketenangan atau ketentraman kerja serta ketenangan usaha; b). meningkatkan produksi; c). meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat manusia. Oleh karena itu hubungan industrial Pancasila harus dilaksanakan sesuai asas tri kemitraan (three-partnerships). Kemitraan dalam hubungan industrial itu dibangun dan dilaksanakan dalam tiga kerangka kemitraan yaitu :
1. Mitra dalam proses produksi (partner in production);
Pekerja, pengusaha dan pemerintah terlibat dalam proses produksi menurut fungsi masing-masing.
2. Mitra dalam tanggung jawab (partner in responsibility);
Pekerja, pengusaha dan pemerintah harus bertanggung jawab dalam kemajuan dan kelangsungan usaha karena perusahaan merupakan aset nasional yang harus dijaga dan dipelihara oleh semua pihak.
3. Mitra dalam keuntungan (partner in sharing profit).
Pekerja, pengusaha dan pemerintah memperoleh manfaat dari keuntungan perusahaan secara proporsional.

Hubungan industrial di Indonesia dipengaruhi banyak faktor. Selain kondisi internal perusahaan yang memainkan peranan sangat penting khususnya oleh serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha, kondisi kerja (working condition) dan budaya di dalam perusahaan (corporate culture), juga kondisi eksternal perusahaan yaitu eksistensi pemerintah dalam memainkan tugas dan fungsinya sebagai regulator yang bertindak membuat perundang-undangan sebagai alat untuk mengontrol sistim hubungan industrial baik pada tingkat mikro perusahaan maupun tingkat makro perusahaan, asosiasi serikat pekerja/buruh dan organisasi pengusaha selaku organisasi yang mempunyai kepentingan (interest groups)untuk memperjuangkan kepentingan dan kelompoknya masing-masing. Para pelaku utama hubungan industrial tersebut harus mampu secara cerdas menganalisis dan menyikapi perkembangan politik, sosial, ekonomi, teknologi dan informasi dan perkembangan hubungan internasional yang berdimensi pada kondisi perkembangan hubungan industrial (Reytman Aruan, Makalah, hal 4).

Dalam perkembangannya hubungan industrial semakin kompleks dan rumit, bukan hanya dalam pelakanaan syarat-syarat kerja dan atau pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak, akan tetapi sering terjadi persepsi yang berbeda dalam menyikapi kondisi hubungan industrial serta interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam era globalisasi dewasa ini telah menimbulkan persaingan yang super ketat terutama dalam bidang ekonomi dimana dituntut penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (science and technologi). Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan syarat utama dalam penerapan teknologi dalam persaingan global. Sebagaimana kita ketahui bahwa dunia internasional telah menentukan standart mutu suatu produk yang akan dilepas ke pasar global, maka agar produk kita`bisa eksis di pasar internasional maka kita harus meningkatkan mutu setidak-tidaknya setara dengan standar internasional. Penggunaan teknologi mungkin juga akan berdampak pengurangan tenaga kerja karena sudah digantikan tenaga mesin demikian juga sistem kerja.

Pada tingkat mikro perusahaan interaksi yang efektif antara pekerja dan manajemen perlu diciptakan dan dipelihara untuk menghasilkan produc/output sesuai dengan harapan kedua belah pihak. Pada dasarnya pekerja/buruh dan pengusaha sama-sama menginginkan terciptanya hubungan industrial yang harmonis agar kepentingan masing-masing pihak dapat terwujud. Pekerja menginginkan peningkatan kesejahteraan, sementara pengusaha menginginkan profit dan terkendalinya kelangsungan usahanya. Namun dalam realitas di lapangan tidak jarang masing-masing pihak bersikukuh mengutamakan dan mempertahankan kepentingannya masing-masing sehingga tidak tercapai titik temu yang mengakibatkan timbulnya perselisihan hubungan industrial bahkan menjadi gejolak yang berakhir dengan pemogokan. Untuk mengeliminir atau setidak-tidaknya meminimalisir konflik kepentingan dalam hubungan industrial tersebut perlu diadakan komunikasi yang efektif baik dalam interpersional maupun komunikasi organisasional sehingga dapat dicari solusi dari dua kepentingan yang berbeda tersebut.

Hubungan industrial yang harmonis merupakan kunci strategis agar ketenangan kerja dan berkembangnya perusahaan terwujud (industrial harmony and economic development), ada tiga sisi penting yang dapat dijadikan indikator menuju kondisi hubungan industrial yang harmonis di perusahaan yaitu Pertama : Kepatuhan perusahaan dalam menjalankan peraturan perundang-undangan; Kedua : Adanya kepastian dan kejelasan antara hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan kerja seperti upah, status pekerja, jam kerja, tata tertib kerja yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau dalam perjanjian kerja bersama. Ketiga : tersedianya sarana dan fasilitas seperti masker, sarung tangan, helm, sepatu, pengangkutan/transport, klinik dll.

Sistem hubungan industrial ini, merupakan hubungan industrial yang ada di negara kita. Hubungan industrial di Indonesia adalah hubungan industrial yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan sila-sila Pancasila dan UUD 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.

Hubungan industrial yang berdasarkan Pancasila mempunyai tujuan : (1) Tujuan umum yaitu mengemban cita-cita proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (2) Tujuan khusus yaitu mewujudkan ketenangan kerja dan kemajuan berusaha (industrial harmony and economic development).

Untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis di perusahaan, para pelaku proses produksi barang dan jasa perlu memiliki sikap mental dan sosial yang saling menghormati dan saling mengerti kedudukan dan peranannya serta memahami hak dan kewajibannya.

Pemerintah mempunyai peranan sebagai pengayom, pembimbing, pelindung, penengah serta pendamai bila terjadi perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

Dalam mengembangkan sikap mental dan sikap sosial itu, pekerja/buruh dan pengusaha harus melaksanakan konsep kemitraan “Tri Dharma Hubungan Industrial” yaitu: 1). merasa ikut memiliki (rumongso handarbeni), yang mempunyai pengertian bahwa dalam usaha pencapaian sesuatu cita-cita, pihak yang berkepentingan harus merupakan bagian integral., yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, atau perasaan menjadi satu (sense of belonging) yang diikat oleh ikatan batin yang murni merupakan landasan yang harus dibina bersama; 2). ikut memelihara dan mempertahankan (melu hangrung kebi), yang mempunyai pengertian ikut bertanggung jawab atau memiliki rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap segala sesuatu yang dilakukan bersama; 3). serta terus menerus mawas diri (mulat sariro hangro sowani), yang berati bahwa kita harus berani mawas diri atau mau mengakui kesalahan sendiri dan kemudian memperbaikinya demi kepentingan bersama.

Untuk mencapai tujuan hubungan industrial, maka ada beberapa sarana utama hubungan industrial baik di tingkat mikro (tingkat perusahaan) maupun makro. Dari sarana hubungan industrial tersebut dalam pasal ini, di tingkat mikro terdiri dari : serikat pekerja/serikat buruh, lembaga kerja sama bipartit, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, sedangkan di tingkat makro terdiri dari peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, organisasi pengusaha, lembaga kerja sama tripartit dan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Melalui sarana-sarana ini akan terjadi peningkatan hubungan industrial yang akan mendorong : 1). investasi domestik dan internasional ke bidang perindustrian dan perdagangan di Indonesia yang akan medorong terciptanya pekerjaan yang berkesinambungan untuk jangka panjang; 2). terjadinya perbaikan-perbaikan dalam produktivitas dan pembagian keuntungan; 3). pembangunan industrial dan sosial; 4). pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara adil; 5). terciptanya standar kehidupan yang lebih baik bagi seluruh bangsa Indonesia.

Selain itu dengan sarana-sarana ini juga, pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak diatur dengan baik, demikian juga komunikasi dan konsultasi dapat dilaksanakan secara teratur untuk menjaga atau menciptakan hubungan industrial yang lebih kondusif.

HAK MOGOK

Sebagaimana telah dikemukakan, dalam melakasanakan hak dan kewajiban masing-masing diatur melalui sarana-sarana hubungan industrial dengan cara komunikasi dan konsultasi yaang efektif. Namun ada kalanya pihak pekerja/buruh tidak merasa cukup efektif memperjuangkan kepentingannya melalui sarana tersebut, sehingga sering kali harus melakukan tindakan mogok kerja. Dalam praktek pelaksanaan mogok kerja tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan maupun kesejahteraan pekerja/buruh secara langsung. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai macam mogok kerja sebagaimana dikemukakan Prof. Aloysius Uwiyono (2001 : 12-20) sebagai berikut : pemogokan –pemogokan yang terjadi di Indonesia sedikitnya disebabkan oleh berbagai faktor . antara lain berkaitan dengan tuntutan kebebasan berserikat; tuntunan kenaikan tingkat upah; tuntutan agar diberikan tunjangan hari raya; tuntutan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum perburuhan (tuntutan normatif) yang berkaitan dengan pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja, jam kerja, hak cuti (haid), kontrak kerja serta syarat-syarat kerja lainnya; tuntutan yang berlatang belakang politik; dan mogok dirasakan sebagai senjata ampuh oleh kaum buruh .
Pertama, tingkat upah buruh yang rata-rata masih rendah serta syarat-syarat kerja yang dirasakan oleh kaum buruh kurang memadai, telah memicu terjadi nya pemogokan-pemogokan . Sebagian besar dari pemogokan-pemogokan yang terjadi dilatar belakangi tuntutan kenaikan upah.
Kedua, tuntutan buruh terhadap pengusaha agar melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum perburuhan juga melatar belakangi pemogokan di Indonesia . Tuntutan semacam ini sering disebut tuntutan kaum buruh yang bersifat normatif.
Ketiga, pemogokan-pemogokan yang di latar belakangi alasan-alasan politik juga terjadi pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan pada saat menjelang kemerdekaan Republik Indonesia telah terjadi pula pemogokan yang di latar belakangi alasan politik .
Keempat, pemogokan-pemogokan yang terjadi di Indonesia juga disebabkan adanya tuntutan hak-hak dasar (fundamental rights) kaum buruh . Misalnya pemogokan-pemogokan yang berlatar belakang atau bertujuan untuk mendirikan serikat buruh di perusahaan tempat mereka bekerja.
Kelima, mogok dirasakan oleh buruh sebagai senjata yang ampuh dalam memperjuangkan tuntutannya. Berbagai kasus pemogokan yang terjadi di perusahaan-perusahaan menunjukan bahwa oleh kaum buruh hak mogok dirasakan sebagai senjata ampuh, karena dari kasus-kasus pemogokan yang terjadi di berbagai wilayah, para pengusaha baru mengabulkan tuntutan buruh-buruhnya setelah mereka mengadakan pemogokan .

Selanjutnya Prof. Aloysius Uwiyono (2001 : 20-24) mengemukakan, Jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan, sedikit-dikitnya mogok kerja dapat menyebabkan 5 masalah yaitu: kerugian materil bagi perusahaan, menghambat pertumbuhan ekonomi nasional, menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi, menghambat masuknya investasi, dan menghambat kegiatan ekspor. Kelima dampak yang ditimbulkan oleh aksi pemogokan tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Pertama, mogok kerja dapat mengakibatkan kerugian materil bagi perusahaan, karena mogok kerja secara langsung menjadi sebab hilangnya jam kerja.
Kedua, hilangnya jam kerja akibat pemogokan sebagaimana telah diuraikan diatas, pada gilirannya secara mikro akan menurunkan hasil produksi dan secara makro merupakan salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasioanal.
Ketiga, frekuensi pemogokan yang tinggi dan berskala besar serta dalam waktu yang lama dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik. Frekuensi mogok yang tertinggi adalah pada tahun-tahun menjelang krisis moneter 1997.
Keempat, ketidakstabilan politik dan ekonomi yang diakibatkan oleh frekuensi mogok yang tinggi dan berskala besar serta dalam waktu yang lama pada gilirannya dapat mengganggu iklim investasi.

Dilihat dari dampak yang ditimbulkan suatu mogok kerja dapat menjadi salah satu faktor yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi suatu negara, namun terjadinya mogok kerja tidak mudah untuk dihapuskan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundangan yang melarang atau mencegah pemogokan.

Salah satu kesulitan untuk menghapus mogok kerja adalah ketentuan dalam peraturan ketenagakerjaan yang telah menentukan bahwa mogok kerja merupakan hak dasar. Namun demikian masih banyak yang tidak sependapat mengenai ketentuan mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh, meskipun kita telah melaksanakan undang-undang ketenagakerjaan dalam kurun waktu hampir 6 (enam) tahun.

Dalam undang-undang ketenagakerjaan kita, yang dimaksud dengan mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Selanjutnya Pasal 137 menyatakan, mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Sebelum Undang-undang ini pengaturan hak mogok ditemukan dalam pasal 13 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, yang berbunyi: penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan. Tata cara penggunaan hak mogok dan lock out tersebut diatur dalam pasal 6 UU No. 22 Tahun 1957. Namun dalam pasal ini tidak menyebutkan istilah mogok atau lock out, tetapi digunakan istilah “tindakan”. Disamping itu, pasal 4 ayat (2) huruf e UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, menyebutkan bahwa fungsi serikat pekerja/serikat buruh antara lain sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Reytman Aruan, 2007 : 236).

Ada perbedaan pengaturan mogok kerja pada 2 (dua) Undang-undang ini, yaitu dalam Undang-undaang Ketenagakerjaan, mogok kerja dinyatakan sebagai hak dasar pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh, sedangkan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga kerja dinyatakan bahwa mogok kerja sebagai hak.
Untuk menentukan apakah tepat mogok kerja sebagai hak dasar, perlu kita kaitkan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengemukakan bahwa, Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selanjutnya yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia seagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA Pasal 28 A – J mengatur tentang hak-hak konstitusional manusia dan masyarakat. Pengaturan dalam UUD ini membuktikan secara konstitusional diakui adanya beberapa macam hak manusia sebagai hak asasi/dasar, namun dari beberapa macam hak tersebut tidak terdapat mogok kerja sebagai hak asasi. Demikian juga dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, telah mengatur dan menyebutkan jenis-jenis hak asasi manusia yang disesuaikan dengan sifatnya yaitu melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang ini tidak ditemukan mogok kerja sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena dalam kedua Undang-undang tersebut (UUD dan UU 39 Tahun 1999), mogok kerja tidak termasuk hak asasi manusia, maka kurang tepat pengaturan hak mogok seagai hak dasar.

Dengan adanya ketentuan hak-hak manusia dan masyarakat, baik dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999, maka kurang tepat legitimasi mogok kerja sebagai hak dasar. Selain itu hak dasar atau hak asasi melekat pada manusia sebagai individu yang menunjukkan harkatnya sebagai manusia, sementara mogok kerja merupakan hak manusia secara kolektif bukan individu, karena mogok kerja dilakukan secara bersama-sama oleh pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh. Hal lain adalah bahwa hak mogok baru dapat dilakukan apabila segala upaya telah dilakukan dalam memperjuankan hak dan kepentingan pekerja/buruh dan keuarganya.

UPAYA TERAKHIR

Walaupun mogok kerja diakui sebagai hak, namun dalam merealisasi hak tersebut, haruslah dilakukan dengan syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini untuk menjamin agar kepentingan masyarakat lainnya tidak terganggu akibat pelaksanaan hak mogok. Dalam pasal 137 disebutkan mogok yang sah diakui adalah yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan., selanjutnya Pasal 140 UUK menyebutkan : (1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat; (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat : a). waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b). tempat mogok kerja; c). alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d). tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. (3). Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja; (4). Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara : a). melarang para pekerja yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; dan b). bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Ketentuan lain terdapat dalam Pasal 141, yang menyatakan : (1). Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 140 wajib memberikan tanda terima; (2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi; (4). Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang; (5). Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.

Syarat diatas merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh yang akan melaksanakan mogok kerja. Mogok kerja dalam undang-undang ini tidak mengatur jumlah pekerja/buruh yang melaksanakan mogok kerja. Menurut penulis perlu ditentukan jumlah pekerja/buruh sebagai salah satu syarat mogok kerja agar pemogokan itu lebih efektif dan terarah, karena jika tidak ditentukan jumlahnya maka bisa terjadi pemogokan dalam satu perusahaan terjadi secara terus menerus dengan orang yang berganti-ganti ,demikian juga dengan waktu mogok kerja. Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja.

Pemberitahuan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sebelum mogok kerja bertujuan untuk memberi kesempatan yang cukup kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk mengupayakan penyelesaian masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan, dan apabila pekerja/buruh melakukan mogok kerja sebelum tenggang waktu pemberitahuan mogok kerja mencapai 7 (tujuh) hari, maka dikhawatirkan tidak cukup waktu untuk penyelesaian sebagaimana diharapkan sehingga dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara sebagai tindakan pengamanan dengan melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi atau di lokasi perusahaan.

Dalam pasal diatas ditekankan bahwa mogok kerja baru bisa dilakukan apabila perundingan telah gagal. Perundingan dimaksud adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha. Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Sedangkan yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak menggangu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.

Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima pemberitahuan mogok kerja harus melakukan upaya pencegahan (preventif) maupun penyelesaian masalah (represif) yang menyebabkan terjadinya mogok kerja. Upaya penyelesaian dilakukan dengan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih dengan merundingkan permasalahan. Perundingan wajib dilakukan karena sesuai dengan falsafah hubungan industrial kita musyawarah dan mufakat merupakan prinsip utama dalam penyelesaian setiap permasalahan dan perselisihan. Apabila pegawai Insatansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tidak dapat menyelesaikan permasalahan maka masalah tersebut segera diserahkan kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Ketentuan diatas menunjukkan bahwa pemogokan dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) setelah dilakukan upaya penyelesaian secara damai dengan perundingan namun mengalami kegagalan. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan pemogokan merupakan pembatasan hak mogok agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Persyaratan untuk melakukan mogok dalam pasal ini sangat sederhana, sehingga sangat mudah sekali bagi pekerja/buruh melaksanakan mogok kerja. Kesederhanaan syarat ini memungkinkan terjadinya mogok kerja sering terjadi, apalagi dalam UUK tidak diberikan pembatasan waktu melakukan mogok kerja.

Mogok kerja dapat dilakukan secara bervariasi yaitu : mogok kerja (pekerja/buruh sama sekali tidak bekerja), slow down (pekerja/buruh bekerja tetapi memperlambat pekerjaan) dan sit down (pekerja/buruh datang ke tempat kerja/perusahaan tetapi hanya duduk saja). Mengingat mogok kerja merupakan hak pekerja/buruh, maka pekerja/buruh dapat menggunakan atau tidak menggunakan haknya itu meskipun diajak oleh pekerja/buruh lain atau serikat pekerja/serikat buruh. Dengan kata lain pekerja/buruh tidak dapat dipaksa untuk menggunakan hak mogoknya.

Dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, pemogokan di Indonesia (Aloysius Uwiyono 2001:72) dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu : 1) pemogokan yang sasarannya berkaitan dengan kepentingan politis (political strike), 2). pemogokan yang mempunyai sasaran langsung untuk meningkatkan upah dan syarat-syarat kerja lainnya (kepentingan ekonomis/economic strike).

Mogok kerja yang dilakukan untuk membantu pekerja/buruh lain dalam memperjuangkan hak-haknya dikenal dengan istilah mogok solidaritas atau mogok simpati (secondary strike). Di Inggris (Aloysius Uwiyono 2001:84), mogok solidaritas ini dianggap tidak sah karena pekerja/buruh yang melakukan mogok tidak langsung menikmati hasil perjuangannya melalui aksi mogok kerja yang mereka lakukan. Termasuk kategori mengajak pekerja/buruh lain untuk melakukan mogok kerja secara melanggar hukum antara lain : memaksa/mengintimidasi/mengancam pekerja/buruh yang tidak ikut mogok kerja sehingga pekerja/buruh terpaksa ikut mogok kerja atau tidak melaksanakan pekerjaan; melakukan tipu muslihat/menghasut sehingga pekerja/buruh terjebak untuk ikut mogok kerja; menghalang-halangi pekerja/buruh lain yang mau masuk kerja/melaksanakan pekerjaan.

Disini dapat dikemukakan contoh mogok kerja yang pernah terjadi di suatu perusahaan, misalkan serikat pekerja/serkat buruh telah memberikan pemberitahuan kepada pengusaha bahwa mereka akan melakukan mogok kerja pada tanggal dan tempat tertentu yang tujuannya menuntut perbaikan upah dari tahun sebelumnya dan telah dilakukan perundingan, namun tidak membuahkan hasil. Dalam pemberitahuan ini dikemukakan bahwa mogok kerja dilakukan dari tanggal 1 Desember 2008 sampai tuntutan dikabulkan oleh pengusaha. Dalam kasus ini misalkan pengusaha tidak dapat mengabulkan permintaan serikat pekerja/serikat buruh disebabkan kondisi keuangan perusahaan yang kurang baik. Pemogokan ini berakibat proses produksi akan terganggu yang akhirnya perusahaan divinalti oleh perusahaan lain karena tidak dapat memenuhi order sesuai dengan jumlah dan waktu yang diperjanjikan. Akibatnya perusahaan semakin lama semakin merugi, dan bebannya semakin besar. Dalam kasus seperti tersebut diatas, pertanyaan berikutnya adalah, sampai kapan mogok kerja seperti ini dimungkinkan dan sampai sejauh mana tangung jawab pengusaha membayar upah pekerja/buruh selama mogok kerja yang berakibat kerugian bagi perusahaan, dan apakah pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dapat diminta pertanggungan jawab bilamana perusahaan menjadi rugi bahkan menjadi tutup/bangkrut sebagai akibat langsung dari mogok kerja tersebut.

Yang menjadi permasalahan lainnya adalah apakah pekerja/buruh masih tepat melakukan mook kerja dalam menyelesaikan perselisihan hubungan kerja sementara perselisihan tersebut sudah diproses sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut UU ini perselisihan hubungan industrial wajib menempuh penyelesaian secara musyawarah melalui perundingan bipartit, dan apabila perundingan tersebut gagal maka proses selanjutnya ditempuh melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase dan akhirnya bisa sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial bahkan Mahkamah Agung (Reytman Aruan, 2007 : 2). Mogok kerja tidak perlu dilakukan apabila perselisihan tersebut telah diproses sesuai dengan mekanisme yang ditentukan dalam UU, karena apabila pekerja/buruh melakukan mogok kerja pada saat yang bersamaan dengan menempuh mekanisme penyelesaian maka secara tidak langsung akan menggangu proses pemeriksaan terutama apabila perselisihan dimaksud sudah di Pengadilan Hubungan Industrial. Kalau mogok kerja masih diperbolehkan maka untuk apa harus menempuh mekanisme penyelesaian sampai ke Pengadilan ?

Bila kita perhatikan syarat-syarat dalam melakukan mogok kerja, syarat tersebut sangat sederhana sekali sehingga sangat dimungkinkan pemogokan sering terjadi. Pemogokan tidak mensyaratkan jumlah pekerja/buruh yang melakukan mogok, dua orang atau lebih pekerja/buruh dapat melakukan mogok kerja, demikian juga tidak membedakan perselisihan apa saja yang dapat dijadikan sebagai dasar melakukan mogok. Sebaiknya ke depan kita harus mengatur lebih baik ketentuan tentang mogok kerja ini, misalnya seperti di Amerika Serikat, mogok kerja baru dianggap sah jika mogok kerja tersebut didukung oleh sebagian besar anggota serikat pekerja/serikat buruh melalui mekanisme pemungutan suara (strike ballot). Di Jerman terdapat ketentuan bahwa mogok kerja dianggap sah jika pemogokan tersebut bertujuan untuk meningkatkan perbaikan upah atau syarat-syarat kerja dalam proses pembuatan atau pembaharuan perjanjian kerja bersama (PKB). Demikian juga dengan tenggang waktu pelaksanaan mogok kerja perlu diatur dengan baik termasuk jenis perselisihan hubungan industrial yang dapat dijadikan alasan melakukan pemogokan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung peningkatan perekonomian melalui penanaman investasi.

AKIBAT HUKUM

Meskipun mogok kerja dinyatakan sebagai hak bahkan sebagai hak dasar, namun dalam melaksanakan hak tersebut tidak dapat dikasanakan semaunya saja, itulah sebabnya ada persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Selain persyaratan dimaksud, hal yang tidak kala pentingnya diperhatikan adalah mogok kerja tersebut tidak menggangu hak pihak lain. Ada beberapa ketentuan dalam UUK yang mengatur akibat hukum yang berkaitan dengan mogok kerja antara lain :
Pertama : Pemogokan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan pasal 137, dan pasal 138 ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 186, dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus ribu rupiah). Ketentuan ini oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.12/PUU-I /2003 tanggal 26 Oktober 2003, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kedua : Pasal 138 yang menyebutkan : (1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum. (2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 138 ayat (1) ini merupakan tindak pidana pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 186, dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (empat ratus ribu rupiah). Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.012 /PUU –I /2003 tanggal 26 Oktober 2003 maka sanksi dalam pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketiga : Pasal 139 Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut. Sedangkan yang dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas. Pengertian mogok kerja dalam pasal ini bertentangan / tidak sama dengan pengertian mogok kerja sebagaimana disebut dalam pasal I angka 23 Undang-undang ini. Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia harus dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak sedang bekerja atau pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas, sedangkan mogok kerja yang sebenarnya adalah yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang seharusnya bekerja menjadi tidak bekerja atau bekerja tetapi memperlambat pekerjaan.
Selanjutnya Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah, menyebutkan, mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang tidak sah.
Keempat : Pasal 142, menyebutkan : (1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 dan pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah. (2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.232/MEN/2003 tanggal 31 Oktober 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah. Mogok kerja dinyatakan tidak sah apabila dilakukan : a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau; b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau; d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Yang dimaksud disini dengan gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat) belas hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.

Selanjutnya menurut pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep.232/MEN/2003, mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok kerja dilakukan oleh pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis, dan pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan itu dianggap mengundurkan diri. Kemudian dalam pasal 7 disebutkan, mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis dan kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mangkir dan apabila mogok tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.

Dari ketentuan diatas, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada lagi mogok kerja yang diancam pidana melainkan akibat hukumnya hanya bersifat keperdataan.

PENUTUP

Mogok kerja sebagai hak bukanlah satu-satunya cara untuk memperjuangkan hak maupun kepentingan, dan apabila hak tersebut akan dilaksanakan perlu dipikirkan secara matang karena akan berdampak pada hubungan industrial dan membutuhkan pengorbanan baik materil maupun non materil. Demikian juga di masa depan perlu dipikirkan pengaturan hak mogok yang mendukung investasi guna meningkatkan perekonomian bangsa kita. Sekian.